Loading...
world-news

Bahasa opini - Teks Review Materi Bahasa Inggris Kelas 12


Bahasa adalah jantung dari segala bentuk komunikasi manusia. Ia bukan sekadar kumpulan kata, tata bahasa, atau sistem simbol tertulis; bahasa adalah warisan budaya, alat kekuasaan, serta cermin dari dinamika sosial masyarakat. Di era modern yang dipenuhi dengan arus globalisasi, teknologi digital, dan perubahan sosial yang begitu cepat, peran bahasa menjadi semakin kompleks. Bahasa kini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai indikator kelas sosial, alat politik, bahkan komoditas ekonomi. Artikel ini akan menggali peran bahasa dalam konteks masyarakat modern, dengan fokus pada identitas, kekuasaan, dan perubahan sosial, serta bagaimana kita – baik individu maupun komunitas – merespon pergeseran-pergeseran tersebut.


Bahasa sebagai Identitas: Lebih dari Sekadar Alat Komunikasi

Bagi banyak bangsa, bahasa adalah fondasi identitas budaya mereka. Bahasa menentukan cara kita berpikir, memahami dunia, dan berinteraksi dengan lingkungan. Menguasai bahasa ibu berarti membentengi diri dengan rasa memiliki terhadap suatu tradisi maupun cara pandang hidup. Bahasa tidak hanya membawa makna literal, tetapi juga membawa nilai, emosi, dan kisah kolektif.

Konsep linguistic relativity (relativitas bahasa) yang dikemukakan oleh Sapir-Whorf menyatakan bahwa bahasa yang kita gunakan mampu membentuk realitas yang kita pahami. Contoh nyata dari pandangan ini adalah fakta bahwa beberapa bahasa tidak mengenal istilah tertentu, sehingga konsep tersebut mungkin terasa asing atau bahkan tidak ada dalam budaya penutur bahasa itu. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, kata “privacy” tidak memiliki padanan yang sempurna seperti dalam bahasa Inggris. Ini membuktikan bahwa bahasa membentuk konsep-konsep sosial yang kita anggap penting.

Namun, di era globalisasi, posisi bahasa lokal sering kali digeser oleh dominasi bahasa internasional seperti bahasa Inggris. Bahasa Inggris saat ini dianggap sebagai bahasa ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Di satu sisi, kemampuan berbahasa Inggris memberi banyak manfaat, seperti akses terhadap informasi global dan peluang ekonomi. Namun, di sisi lain, hal ini berpotensi mengikis keberadaan bahasa-bahasa daerah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya lokal. Hilangnya bahasa berarti hilangnya sejarah dan kearifan lokal yang berumur ratusan tahun.


Bahasa sebagai Alat Kekuasaan: Penentu Akses dan Pengaruh

Sejak zaman kolonial hingga era globalisasi, bahasa telah menjadi instrumen kekuasaan. Penguasa kerap menggunakan bahasa untuk mengontrol masyarakat dan membentuk opini publik. Pada masa penjajahan, misalnya, bahasa penjajah digunakan sebagai bahasa utama dalam administrasi, pendidikan, dan perdagangan. Hal ini menempatkan bahasa lokal pada posisi inferior. Bahkan setelah merdeka, warisan hierarki bahasa ini masih terasa.

Di masyarakat modern, fenomena dominasi bahasa tetap berlangsung. Bahasa Inggris, misalnya, bukan hanya sekadar bahasa internasional, tetapi juga simbol elitisme sosial. Mereka yang fasih berbahasa Inggris seringkali dianggap lebih berpendidikan atau lebih “modern”, meski kenyataannya tidak selalu demikian. Kemampuan bahasa menjadi tolok ukur akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Bahkan dalam dunia digital sekalipun, mayoritas informasi tersedia dalam bahasa Inggris, yang secara otomatis meminggirkan mereka yang tidak menguasainya.

Tak hanya itu, bahasa juga digunakan sebagai alat propaganda. Pemerintah, media massa, dan korporasi besar memainkan peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat melalui pilihan kata yang digunakan dalam slogan, kampanye, atau pemberitaan. Kata-kata seperti “pembangunan berkelanjutan”, “reformasi”, atau “keamanan nasional” seringkali digunakan untuk membungkus realitas yang lebih rumit dan menyembunyikan kepentingan tertentu.

Dengan demikian, bahasa bukan sekadar alat komunikasi netral, melainkan sarana untuk mengendalikan narasi. Siapa yang menguasai bahasa, ia menguasai wacana. Dan siapa yang menguasai wacana, ia menguasai cara orang berpikir dan mengambil keputusan.


Bahasa sebagai Refleksi Perubahan Sosial: Evolusi yang Tak Terelakkan

Bahasa selalu berubah. Inilah sifat alaminya. Setiap generasi membentuk cara berbahasa sesuai dengan kebutuhan komunikatif dan budaya mereka. Perubahan ini seringkali dipengaruhi oleh teknologi, migrasi, politik, serta tren sosial.

Di Indonesia, misalnya, kita melihat fenomena munculnya bahasa gaul dan campuran yang dikenal sebagai bahasa prokem pada tahun 1980-an, atau bahasa alay pada tahun 2000-an, yang kemudian berevolusi menjadi bahasa warganet di era media sosial saat ini. Bahasa-bahasa ini muncul sebagai respon terhadap perubahan budaya populer dan kebutuhan identitas kelompok tertentu, terutama generasi muda.

Masuknya kosakata asing – terutama Inggris – dalam percakapan sehari-hari adalah contoh lain dari perubahan bahasa. Penggunaan kata-kata seperti "meeting", "deadline", atau "upgrade" seolah menjadi hal wajar dalam komunikasi profesional. Fenomena ini, yang dikenal dengan istilah code-switching (alih kode), terjadi karena para penutur merasa bahwa beberapa istilah dalam bahasa asing lebih praktis atau lebih bergengsi untuk digunakan.

Namun, perubahan bahasa ini seringkali menimbulkan kekhawatiran, terutama dari kalangan konservatif yang menganggap fenomena tersebut sebagai “kerusakan bahasa”. Padahal jika ditelaah dari perspektif linguistik, tidak ada bahasa yang benar-benar murni atau tidak berubah. Yang ada hanyalah bahasa yang hidup dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.


Teknologi Digital: Mempercepat Evolusi Bahasa

Revolusi digital telah mengubah cara kita berkomunikasi secara fundamental. Media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok menciptakan ruang publik baru yang memungkinkan interaksi cepat dan masif. Bahasa, dalam konteks ini, berubah menjadi lebih singkat, simbolis, dan multimodal (menggabungkan teks, gambar, emoji, video, dll.).

Emoji, misalnya, telah melampaui fungsi sebagai sekadar ornamen visual. Emoji kini berfungsi sebagai ekspresi emosional, bahkan kadang menggantikan kata-kata tertentu. Sementara itu, meme sebagai fenomena budaya internet menunjukkan bagaimana humor dan kritik sosial bisa tersampaikan melalui kombinasi gambar dan teks yang sangat pendek.

Bahkan algoritma kini berperan dalam menentukan bahasa apa yang populer. Kata-kata atau frasa yang sering dipakai pengguna akan diprioritaskan oleh mesin pencari atau platform media sosial. Artinya, kekuatan bahasa tidak lagi hanya ditentukan oleh manusia, tetapi juga oleh sistem digital yang kita gunakan.

Namun, di balik semua itu, kita harus sadar bahwa teknologi digital juga menciptakan jurang linguistik baru. Mereka yang paham teknologi dan terlibat aktif dalam ruang digital memiliki akses lebih besar terhadap perkembangan bahasa baru, sementara sebagian masyarakat lain tertinggal.


Bahasa dalam Pendidikan: Antara Standarisasi dan Keragaman

Salah satu isu penting dalam perdebatan seputar bahasa adalah bagaimana ia digunakan dalam pendidikan. Apakah pendidikan harus berfokus pada bahasa baku atau membuka ruang bagi keberagaman bahasa lokal? Di Indonesia, Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus dipelajari dan digunakan dengan baik. Namun, apakah itu berarti bahasa daerah harus ditinggalkan?

Pendidikan formal seringkali menekankan penggunaan bahasa baku, dan menganggap penggunaan bahasa daerah atau informal sebagai sesuatu yang kurang pantas. Hal ini dapat menciptakan rasa inferioritas terhadap bahasa ibu, terutama di kalangan generasi muda. Anak-anak yang berbicara bahasa daerah seringkali dihakimi sebagai kurang “modern” atau tidak terdidik.

Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendidikan yang berbasis bahasa ibu (mother tongue-based education) dapat meningkatkan kualitas belajar, khususnya di tingkat dasar. Anak-anak yang belajar dengan bahasa yang mereka pahami sejak kecil cenderung lebih mudah menyerap pelajaran. Selain itu, penggunaan bahasa lokal dalam pendidikan dapat memperkuat identitas dan rasa bangga budaya.

Dengan demikian, tantangan bagi sistem pendidikan saat ini adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan standar bahasa nasional dengan penghargaan terhadap keragaman linguistik lokal yang sangat kaya.

Bahasa adalah bukti hidup dari perjalanan peradaban manusia. Ia adalah saksi sejarah, alat komunikasi, sarana kekuasaan, dan identitas budaya. Dalam masyarakat modern, peran bahasa mengalami dinamika yang kompleks. Bahasa bisa mengikat masyarakat dalam rasa kebersamaan, tetapi juga bisa menjadi alat eksklusi sosial. Ia bisa menjadi sarana pembebasan, tetapi juga bisa menjadi instrumen dominasi.

Di tengah arus globalisasi dan teknologi digital yang makin kuat, kita perlu menjaga keseimbangan antara keterbukaan terhadap perubahan dan penghargaan terhadap kearifan lokal. Mempelajari bahasa asing bukan berarti meninggalkan bahasa ibu. Menggunakan bahasa gaul bukan berarti merusak bahasa baku. Sementara itu, merawat bahasa daerah bukan berarti menutup diri dari dunia luar.

Bahasa adalah kekayaan. Perubahan adalah keniscayaan. Yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai penutur bahasa memaknai, merawat, dan memanfaatkan bahasa sebagai sarana untuk membangun peradaban yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi.